Amir Membolos… Kata Bu Guru…
PONOKAWAN perempuan, Cangik dan anaknya, Limbuk, punya nazar. Mereka akan mbalekno KTP ke kelurahan. Dua-duanya tergugah tekad Bu Sutarti dan Bu Rusmini. Kedua janda pahlawan itu kan bakal mengembalikan ke negara sertifikat kepahlawanan mendiang suami mereka. Ya kayak gitulah kalau sampek pengadilan tega-teganya ngetuk palu menyalahkan keduanya lantaran didakwa nyerobot rumah dinas.
Ndak cuma itu. Bu Sutarti dan Bu Rusmini mengancam akan membongkar kuburan suaminya di Taman Makam Pahlawan. Buat apa negara pura-pura hormat ke almarhum suami mereka dengan kasih pusara nduk Kalibata, kalau nyatane janda-janda kusuma bangsa itu dikuyo-kuyo.
Pas jalan ke kantor Pak Lurah, Cangik yang kurus kering dan Limbuk yang gendut-subur mandek sebentar di Senayan. Ada kerumunan manusia di sekitar gedung DPR. Ternyata seorang aktor tempo dahulu, namanya Pong Harjatmo, sedang manjat gedung yang bentuk atapnya kayak bokong tengkurap itu. Di atas atap sang aktor protes kok anggota DPR sering mbolos.
”Wah, Oom Pong Harjatmo itu idolaku lho, Mak,” seru Limbuk kepada emaknya. ”Aku itu paling suka acara Oom Pong di TVRI zaman dulu… Berpacuuuuu dalam Melodi!!!”
”Hush! Itu Mas Pong Hendratmo, Mbuk, eh Koes Hendratmo… Kalau Dik Pong Harjatmo itu aktor. Biasanya selalu jadi orang sial. Dulu tempo kamu belum lahir ada film remaja. Kondang banget. Dari novel Eddy D. Iskandar, orang Bandung. Judulnya Gita Cinta dari SMA. Rolnya Rano Karno dan Yessi Gusman. Nah, Dik Pong itu jadi guru SMA sing ngebet pada Ratna, si Yessi Gusman itu. Di depan Ratna, tingkah Pak Guru ini neko-neko sampai celananya mlorot dan robek di belakang bokongnya… Lalu Dik Pong, Pak Guru, lari terbirit-birit sampai murid-muridnya semua kepingkel-pingkel…”
***
Matahari masih terik.
Si tambun Limbuk dan si kerempeng Cangik akan beranjak dari kerumunan di DPR Senayan, mau melanjutkan jalan kaki ke kantor kelurahan, mengembalikan mereka punya KTP. Ujuk-ujuk datang Tantowi Yahya. Putra Palembang ini muncul-muncul ndak bawa empek-empek, malah ngajak kameraman televisi sembari menyodorkan mik. ”Lihat kan demonstrasi panjat atap gedung DPR tadi? Komentar Anda?” tanyanya kepada Limbuk.
”Hehehe… Mas Tantowi… Tak pikir-pikir Om Pong keliru. Mestinya beliau tetap saja tekun di gaweannya, profesinya, jadi MC acara Berpacuuuuu dalam Melodi…”
Tantowi mengernyit.
Cangkik tanggap. Ia jawil anaknya sambil bisik-bisik, ”Hush, Berpacu dalam Melodi itu Mas Koes Hendratmo… Mas Koes itu seniornya Mas Tantowi, sama-sama kadernya ratu kuis tahun 80-an, perempuan Aceh, Ibu Ani Sumadi…”
”O jadi Mas Pong yang keliru?” sambung Tantowi masih mengernyit. ”Terus… terus… Anggota DPR, sering bolos… Nggak salah?”
”Ooo ya ndak to Mas Tantowi... ndak salah… Piye to… Karena DPR kan memang bukan Taman Kanak-kanak. Di DPR nggak ada lagu yang wanti-wanti agar nggak mbolos. Kalau di TK kan ada… Amir Membolos… Kata Bu Guru…”
Cangik menyela, ”Ya… Betul sekali Limbuk, anakku ini. Dulu suwargi Presiden Gus Dur sudah mau meresmikan DPR sebagai Taman Kanak-kanak, tapi anggota DPR nggak mau. Mereka malah mencak-mencak. Akibatnya ya gini, DPR nggak punya lagu tentang masuk terus pantang mbolos…”
Cangik bener. Seandainya DPR itu TK, para anggotanya bisa menyanyikan tembang dolanan tradisional yang sangat populer dengan nada Slendro Pathet Sanga. Cangik rengeng-rengeng:
Wajibe dadi murid
Ora pareng pijer pamit
Kejobo yen loro, kejobo yen loro
Loro tenan, ora loro mung etok-etokan, aaan
Lan manehe kudu pamit nganggo layang…
Cuplikan tembang dolanan anak-anak itu kalau komplet Indonesianya begini: Please deh jadi murid mbok jangan mbolosan. Kecuali pas sedang sakit. Sakit pun harus sakit beneran yang memang gak bisa berangkat ke sekolah lho, bukan sakit hati atau sakit panu. Sakit betulan pun masih harus pakai surat. Awas ya, kalau keseringan bolos nanti kamu jadi goblok sedungu kerbau.
***
Di sekitar kerumunan penonton demo terhadap kemalasan DPR itu, dan masih di bawah terik matahari yang sama, ternyata ada juga ponokawan Gareng, Petruk, dan Bagong. Untung, Limbuk-Cangik tak jadi tertahan nduk situ lebih lama. Tantowi Yahya yang hobi nyanyi country sedianya mau mengejar Cangik dengan pertanyaan tentang tembang dolanan Wajibe Dadi Murid. ”Mas Tantowi,” desak Gareng. ”Bu Cangik ini mau ada penting ke kelurahan. Dia dan anaknya, Limbuk, mau mengembalikan KTP. Jadi biar saja mereka cepet-cepet…”
Gareng yang sudah berwindu-windu saban hari kumpul Raden Arjuna lama-lama ketularan sebagian kesaktian juragannya. Yaitu, sedikit-banyak dia sanggup menjamah pikiran orang termasuk Tantowi Yahya.
Gareng mikir, seperti pikiran Tantowi, bagaimana anggota parlemen bisa tergiur menghadiri sidang wong di dalam sidang, utamanya sidang paripurna, mereka cuma disuruh denger pidato. Mereka cuma disuruh diam ndlahom dan angop-angop. Padahal parlemen itu kan asal katanya ”parle”. Artinya bicara. Karena itu…
”Sik..sik Kang Gareng,” Petruk nyelonong. ”Masio parle itu maksudnya ngomong, anggota parlemen kan manusia juga. Mereka sama juga dengan kita. Telinganya dua mulutnya satu…”
”Artinya lebih banyako dengar ketimbang njeplak,” Bagong ngegongi.
Gareng setuju. Makanya sulung ponokawan ini akhirnya meminta Tantowi Yahya dari Golkar untuk kembali masuk ke gedung DPR, menjadi wakil rakyat. Tidak usah bernostlagia kembali menjadi presenter seperti yuniornya Farhan, Mayong, dan Ferdi Hasan. Biarlah hanya Eko Patrio, anggota parlemen dari PAN, yang masih bersemangat menyalurkan ”parle”-nya tidak sebagai anggota DPR, tapi sebagai presenter di televisi.
(Kang Tantowi Yahya dari Golkar, apa kabar? Sori berat Sampeyan saya catut dan dapuk secara khayalan untuk masuk dalam adegan Wayang Durangpo Minggu ini. Ojok nesu yo, Kang. Salam buat Pak Ketua Umum dan lumpur Lapindo.)
Eh, saya tadi cerita soal Limbuk dan Cangik ya….?
***
Kembali ke Limbuk ke Cangik ke kelurahan. Sekarang keduanya wis tekan nduk kantor Pak Lurah.
”Gerangan apa kowe orang datang sini seperti ada penting-penting yang sangat dimaui?” tanya Bilung. Ponokawan ini baru setahun dines di kelurahan itu.
”Baiklah jika demikian pertanyaan Saudara, saya ke sini, ke kelurahan ini, datang mbarek anak saya Limbuk, saya cuma mau tegaskan, akan saya bongkar itu kuburan suami saya kalau keadaan saya dan Limbuk tetep begini-begini saja ndak hujan ndak kemarau.”
Senior Bilung, Togog, yang juga ngantor di keluarahan itu menimpal, ”Apakah suamimu ditanam di Taman Makam Pahlawan? Maksudku hmmm… seperti suami Ibu Sutarti dan Ibu Rusmini?”
”Ndak di Taman Makam Pahlawan. Di pemakaman umum. Tapi kalau keadaan tetep begini-begini saja, saya ndak sudi suami saya dimakamkan di bumi sini, di tanah air sini… Bapaknya anak-anak akan saya kubur di Arab Saudi saja. Nanti kalau saya jadi TKI berangkat ke sana akan saya bawa sekalian…”
”Memang sudah umur gini, Ibu masih kuat kerja?” potong Togog.
”Lho, yok opo, Rek. Jangan anggap enteng orang tua ya. Lihat itu di Tuban, nenek-nenek diperkosa ama tetangganya yang masih muda…”
”Tapi tetangga Ibu, eh suami Ibu itu seorang Gugur Bunga? Seorang pahlawan?” tanya Bilung.
”Pahlawan. Iya! Tapi tanpa tanda jasa.”
”Guru?”
”Iya. Guru tari remo gaya Jombang. Almarhum tidak punya sertifikat kepahlawanan. Saya ndak bisa mbalekno sertifikat itu. Tapi bisa saya kembalikan KTP saya…”
Bilung dan Togog berpikir keras. Apa yang dimaksud ”keadaan tetep begini-begini” saja oleh emak-emak yang datang dengan anak perawan gembrotnya itu. Orang mau bunuh diri memang masih banyak di tanah air. Di Blitar, misalnya, ada laki-laki mau bunuh diri dengan menggorok lehernya sendiri karena cintanya ditolak. Bukan karena stres mikirin anggota DPR atau menteri-menteri.
Di Jogja ada anak muda lompat dari gedung lantai tiga, hanya karena pelat nomer sepeda motornya telat keluar. Cuma karena pelat nomor. Bukan karena motornya hilang di parkiran. Kabar baik bulan Juli, Mahkamah Agung sudah memutuskan, pengelola parkir wajib mengganti kendaraan yang hilang di parkiran. Coba, meski wakil rakyatnya masih sering bolos, kurang enak apalagi tanah air ini? Untuk parkir saja enak, apalagi untuk hidup?
Togog: Sekarang Sampeyan masih akan membongkar makam suami dan mengembalikan KTP? Sampeyan tahu, panutan Sampeyan, Ibu Sutarti dan Ibu Rusmini, nggak jadi membongkar makam suaminya, nggak jadi mengembalikan sertifikat kepahlawanan suaminya, karena hakim akhirnya memutuskan kedua janda itu tidak bersalah? Sudah tahu beritanya belum?
Cangik menggeleng.
Limbuk: Ya, maaf Pak Togog, Pak Bilung, emakku ini nontonnya cuma gosip di televisi, Pak. Apa itu, infotainment atau apa gitu…
”Itu bukan berita. Itu sudah diharamkan!!!” sergah Bilung.
”Ya, maaf, Pak. Saya dan emak saya ndak mudeng. Kalau itu Pak, yang banyak ditonton anggota DPR, Keong Racun, itu masuknya gosip apa berita ya, Pak?” (*)
The end